Abstrak
Indikator utama
penegakan hukum tercermin melalui seberapa besar penuntasan kasus korupsi dan
seberapa banyak penjeblosan pelaku korupsi tersebut ke dalam kerangkeng besi.
Bila Cina sebagai Negara sosialis “berani” untuk menyediakan peti mati kepada
para koruptor; mengapa Indonesia “tidak”? Sebuah pertanyaan yang harus dijawab
secara serius oleh para penegak hukum. Tidak hanya sebatas lip service
semata, tetapi mesti dipatrikan ke dalam hati nurani yang paling dalam untuk
memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Belum lagi melihat peringkat
Indonesia sebagai Negara terkorup yang menduduki nomor peci. Demikian pula
dengan “kongkalingkong” aparat penegak hukum yang tak kunjung usai, tidak
membuat hukum semakin dijadikan panglima dan dihormati, tetapi justru membuat
posisi hukum berada pada sol sepatu dan sandal para pemilik rupiah.
Dari hari ke hari
kondisi penegakan hukum di Indonesia semakin mengenaskan. Hal ini dilihat
dengan mata telanjang betapa sejumlah mega skandal korupsi telah membuat bangsa
ini menangis di hadapan rakyat, di antaranya kasus Bank Century dan kasus
korupsi pajak serta skandal korupsi lainnya.
Korupsi pada
prinsipnya merupakan kejahatan kemanusiaan yang identik dengan Genosida,
sehingga amat pantas bila koruptor mendapat hukuman tertinggi, yakni hukuman
mati.Harapan untuk melaksanakan penegakan hukum ke depan masih terbuka, di
antaranya dengan melakukan evaluasi dan tindak lanjut atas sistem hukum dan
produk perundang-undangan; menanamkan kesadaran kepada penegak hukum betapa
pentingnya rasa keadilan; menyediakan sarana dan fasilitas; membentuk masyarakat yang sadar hukum; dan
menciptakan kultur hukum yang baik.
Kata kunci : Law enforcement, korupsi, aturan
hukum, penegak hukum, dan syndrom anomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar