ABSTRAK
Kehadiran paradigma berpikir fiqhi yang bertajuk ”Fiqhi
Lintas Agama” sempat membuat geger dunia ”perfiqhian” nasional karena
kehadirannya dianggap kurang lazim dalam konteks keindonesiaan dan masyarakat
Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat fiqhi.
Munculnya paradigma fiqhi seperti ini tidak terlepas dari
keadaan berpikir masyarakat Indonesia, khususnya sebagian kaum cendekiawan
muslim konservatif yang memahami dan membedah masalah keumatan kontemporer
dengan menggunakan pisau bedah fiqhi klasik. Fakta ini sejatinya merupakan
bentuk penjustifikasian dan pengebirian terhadap potensi fiqhi yang dapat
tumbuh dan berkembang seiring perubahan zaman yang tidak dapat dihindari,
sekaligus menjawabnya dengan tidak mereduksi nilai-nilai esensi ajaran Islam
yang bersumber al-Quran dan al-Hadis.
Paradigma fiqhi lintas agama setidaknya ingin ”bermain”
pada wilayah ini dengan mencoba menelusuri kembali kaleidoskop fiqhi klasik serta
nash-nash al-Quran dan al-Hadis, kemudian mendudukkan persoalan umat yang
muncul secara proporsional dan memberikan solusi atas persoalan umat tersebut.
Namun gagasan ini yang dimuat dan dipublikasikan dalam
buku yang bertemakan Fiqih Lintas
Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis yang ditulis oleh Nurcholish
Madjid telah mendapatkan reaksi keras dan kritikan pedas dari kalangan tradisionalis-konservatif,
meskipun tidak sedikit yang mendukung gagasan tersebut. Tulisan ini mencoba
melihat sejumlah reaksi tersebut dan mendiagnosanya dalam perspektif sosiologis
dengan menggunakan teori konflik dan fungsional struktural.
Kata kunci: fiqih, lintas agama, konflik, dan fungsional
struktural
Tidak ada komentar:
Posting Komentar