Minggu, 24 Juni 2012

"FIQHI LINTAS AGAMA" DALAM PARADIGMA SOSIOLOGI KONTEMPORER


ABSTRAK


Kehadiran paradigma berpikir fiqhi yang bertajuk ”Fiqhi Lintas Agama” sempat membuat geger dunia ”perfiqhian” nasional karena kehadirannya dianggap kurang lazim dalam konteks keindonesiaan dan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat fiqhi.
Munculnya paradigma fiqhi seperti ini tidak terlepas dari keadaan berpikir masyarakat Indonesia, khususnya sebagian kaum cendekiawan muslim konservatif yang memahami dan membedah masalah keumatan kontemporer dengan menggunakan pisau bedah fiqhi klasik. Fakta ini sejatinya merupakan bentuk penjustifikasian dan pengebirian terhadap potensi fiqhi yang dapat tumbuh dan berkembang seiring perubahan zaman yang tidak dapat dihindari, sekaligus menjawabnya dengan tidak mereduksi nilai-nilai esensi ajaran Islam yang bersumber al-Quran dan al-Hadis.
Paradigma fiqhi lintas agama setidaknya ingin ”bermain” pada wilayah ini dengan mencoba menelusuri kembali kaleidoskop fiqhi klasik serta nash-nash al-Quran dan al-Hadis, kemudian mendudukkan persoalan umat yang muncul secara proporsional dan memberikan solusi atas persoalan umat tersebut.
Namun gagasan ini yang dimuat dan dipublikasikan dalam buku yang bertemakan Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis yang ditulis oleh Nurcholish Madjid telah mendapatkan reaksi keras dan kritikan pedas dari kalangan tradisionalis-konservatif, meskipun tidak sedikit yang mendukung gagasan tersebut. Tulisan ini mencoba melihat sejumlah reaksi tersebut dan mendiagnosanya dalam perspektif sosiologis dengan menggunakan teori konflik dan fungsional struktural.

Kata kunci: fiqih, lintas agama, konflik, dan fungsional struktural






Tidak ada komentar:

Posting Komentar