ABSTRAK
Beranjak dari tafsir emansipatoris kontemporer dengan berpijak pada
“pemerdekaan” jenis gender tertentu, counter legal draft Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dirancang. Belajar dari pengalaman masa lalu yang suram, seolah gerakan
pengarusutamaan gender (PUG) ini mencoba untuk mengangkat derajat kaum wanita
yang selama ini merasa “dirugikan” oleh KHI. Karena itu, terdapat beberapa poin
penting yang perlu di-blow up secara
telanjang oleh tim penyusunnya agar kelihatan betul gambaran yang diinginkan
gerakan ini. Hal ini sekaligus memberikan peluang kepada masyarakat untuk
melakukan kritik, sehingga terkesan bahwa counter legal draf KHI ini ikut
dimiliki olah masyarakat. Poin yang urgen dimunculkan tersebut di antaranya
masalah asas perkawinan, mahar, rukun, dan jangka waktu
perkawinan.
Kata kunci: KHI, asas perkawinan, mahar, rukun, dan jangka waktu
perkawinan.
A.
PENDAHULUAN
Kompilasi
Hukum Islam (KHI) meruapakan produk Hukum Islam sesuai INPRES No. 1/1991. Sejak
delapanbelas tahun silam seolah menjadi satu-satunya aturan yang superbody dan nyaris tak tersentuh. Pada
tahun 2005 muncul suatu wacana baru yang dikomandani oleh Musda Mulia cs. ingin
melakukan “revolusi” terhadap materi KHI ini. Draf KHI telah disiapkan oleh tim
dan masyarakat diberikan kesempatan untuk mengkritisi materi draf KHI. Materi
KHI memuat tentang perkawinan, perwakafan, dan warisan ini tidak luput dari
cermatan para “penghulu” pengarusutamaan gender tersebut dengan mengambil
sampel di negara-negara barat dan timur tengah. Namun dalam artikel ini, materi
yang akan disorot dan ditanggapi adalah pada masalah perkawinan.
B.
ANALISIS DAN
TANGGAPAN
Untuk
mengetahui bagaimana sesungguhnya draf KHI yang diajukan, maka terdapat
beberapa poin yang urgen ditanggapi sebagai berikut:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
(6) Mahar
adalah suatu pemberian dari calon suami atau calon istri kepada pasangannya
untuk kepentingan perkawinan
BAB IV
MAHAR
Pasal 16
(1) Calon
suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai
dengan kebiasaan (budaya) setempat.
Tanggapan:
Mahar merupakan hak perempuan dalam
suatu perkawinan. Mahar ini dibebankan kepada laki-laki yang harus ditunaikan
dan diberikan kepada perempuan,[1]
meskipun para ulama masih memperdebatkan keberadaan mahar ini, apakah menjadi
bagian dari rukun atau syarat nikah.
Terdapat beberapa pertimbangan
mengapa persoalan mahar ini lebih diwajibkan kepada laki-laki untuk kemudian
diberikan kepada perempuan, di antaranya yaitu:
Pertama, persoalan mahar sangat terkait
dengan pembagian harta warisan sebagai sumber pendapatan harta bagi perempuan.
Bagian laki-laki lebih banyak (2 bagian) dibanding bagian perempuan yang hanya
mendapat sebagian (1 bagian) dari yang dimiliki laki-laki. Hal ini sebenarnya
tidak bernuansa diskriminatif sebab perempuan pada akhirnya akan mendapatkan 3
bagian sumber harta di luar warisan, setelah ia menikah sebagai yang
dimilikinya secara mutlak, yakni 1 bagian dari harta yang dibawanya sendiri
ketika sebelum menikah; 1 bagian dari nafkah yang diberikan oleh suami; dan 1
bagian lagi adalah mahar itu sendiri. Dengan begitu maka kekhawatiran akan
munculnya ketidakadilan dalam pembagian sumber-sumber harta kepada perempuan
tidak akan terjadi. Jika mahar tidak diberikan kepada perempuan, maka 1 bagian
dari sumber hartanya akan hilang, sehingga porsi perempuan dan porsi laki-laki
tidak akan bertemu pada titik keseimbangan (equilibrium) dan keadilan.
Dengan begitu, maka untuk mencapai titik keseimbangan dan keadilan tersebut,
maka mahar harus diberikan oleh laki-laki kepada perempuan, bukan sebaliknya.
Apabila konsepsi di atas direalisasikan, maka kemaslahatan manusia utamanya
dari segi kesejahteraan akan terwujud.
Kedua, substansi
mahar itu ialah penghormatan yang diberikan dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan. Untuk tidak mengatakan bahwa hakikat fisiologis pernikahan
secara ekstrim adalah “penyerahan diri” seorang perempuan kepada seorang
laki-laki yang “siap dipakai” kapan saja setelah menempuh jalur pernikahan.
Alangkah tidak logisnya jika “penyerahan diri” itu tidak disertai dengan
tindakan penghormatan yang dilakukan oleh laki-laki. Lebih tidak logis
lagi jika “penyerahan diri” itu dilakukan pada saat yang bersamaan dengan
penyerahan mahar oleh perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki dan perempuan yang
akan menikah harus menghargai eksistensi diri masing-masing dengan cara
memberikan mahar kepada perempuan yang menjadi haknya, jangan sebaliknya.
Pemahaman ini memiliki dimensi kemaslahatan yang lebih jauh khususnya dari
aspek kebahagiaan manusia yang diawali dengan rasa saling menghormati dan
saling menghargai.
Ketiga, mahar
yang diberikan laki-laki kepada perempuan merupakan tindakan preventif (sad
dzariyah) guna mengeliminir dampak negatif yang muncul. Jika laki-laki
menunaikan mahar, maka pada satu sisi laki-laki tidak terbuka peluang baginya
untuk berbuat semena-mena kepada perempuan dan pada sisi lain perempuan tidak
akan mudah dipermainkan oleh laki-laki karena laki-laki akan merasa berat untuk
melepas perempuan akibat adanya keharusan mahar yang akan ditunaikannya. Tetapi
sebaliknya, jika perempuan memberikan mahar kepada laki-laki, maka peluang
laki-laki untuk berbuat diskriminatif kepada perempuan sangat terbuka karena ia
merasa ”dibeli” oleh perempuan dan selanjutnya perempuan harus bersiap-siap
untuk ditinggalkan.
Keempat, dalam
konteks keindonesiaan, sudah menjadi kultur masyarakat dan disepakati oleh adat
bahwa seorang laki-laki harus memberikan mahar kepada seorang perempuan yang akan
dijadikan istrinya. Norma adat merupakan salah satu landasan hukum dalam
menetapkan syariat.[2]
Jika begitu adanya, maka seorang perempuan berhak mendapatkan mahar dari
seorang laki-laki calon suaminya.
Kasus perempuan yang memberikan
mahar kepada laki-laki notabene terjadi di Minangkabau seperti yang
biasa disebut orang, perlu untuk diteliti kembali kebenarannya. Adat
Minangkabau sangat kental dengan nuansa keislaman yang dapat dilihat melalui
falsafahnya, yaitu “Adat basandi syara’; syara’ basandi Kitabullah.” Jadi menurut hemat penulis, bagaimana bisa
perempuan memberikan mahar kepada laki-laki, sementara mereka tahu kalau QS.
Al-Nisa: 4 mengisyaratkan bahwa perempuan berhak mendapatkan mahar dari
laki-laki yang bakal menjadi suaminya.
[1] Lihat QS. al-Nisa: 4; 24-25;
al-Maidah: 5. Dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibn Hanbal
dinyatakan: “… beri maharnya (perempuan itu) sekalipun sebentuk cincin dari
besi.” Demikian juga dengan hadis yang diriwayatkan Ahmad Ibn Hanbal,
al-Tirmidzi, dan Ibn Majah yang menyatakan bahwa Nabi mengesahkan pernikahan
seorang pria dengan seorang wanita yang maharnya sepasang sandal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar