Minggu, 24 Juni 2012

MENIMBANG COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM



ABSTRAK

Beranjak dari tafsir emansipatoris kontemporer dengan berpijak pada “pemerdekaan” jenis gender tertentu, counter legal draft Kompilasi Hukum Islam (KHI) dirancang. Belajar dari pengalaman masa lalu yang suram, seolah gerakan pengarusutamaan gender (PUG) ini mencoba untuk mengangkat derajat kaum wanita yang selama ini merasa “dirugikan” oleh KHI. Karena itu, terdapat beberapa poin penting yang perlu di-blow up secara telanjang oleh tim penyusunnya agar kelihatan betul gambaran yang diinginkan gerakan ini. Hal ini sekaligus memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan kritik, sehingga terkesan bahwa counter legal draf KHI ini ikut dimiliki olah masyarakat. Poin yang urgen dimunculkan tersebut di antaranya masalah asas perkawinan, mahar, rukun, dan jangka waktu perkawinan.

Kata kunci: KHI, asas perkawinan, mahar, rukun, dan jangka waktu perkawinan.

A.       PENDAHULUAN
Kompilasi Hukum Islam (KHI) meruapakan produk Hukum Islam sesuai INPRES No. 1/1991. Sejak delapanbelas tahun silam seolah menjadi satu-satunya aturan yang superbody dan nyaris tak tersentuh. Pada tahun 2005 muncul suatu wacana baru yang dikomandani oleh Musda Mulia cs. ingin melakukan “revolusi” terhadap materi KHI ini. Draf KHI telah disiapkan oleh tim dan masyarakat diberikan kesempatan untuk mengkritisi materi draf KHI. Materi KHI memuat tentang perkawinan, perwakafan, dan warisan ini tidak luput dari cermatan para “penghulu” pengarusutamaan gender tersebut dengan mengambil sampel di negara-negara barat dan timur tengah. Namun dalam artikel ini, materi yang akan disorot dan ditanggapi adalah pada masalah perkawinan.

B.       ANALISIS DAN TANGGAPAN
Untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya draf KHI yang diajukan, maka terdapat beberapa poin yang urgen ditanggapi sebagai berikut:
   
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
(6)  Mahar adalah suatu pemberian dari calon suami atau calon istri kepada pasangannya untuk kepentingan perkawinan
BAB IV
MAHAR

Pasal 16
(1)  Calon suami dan calon istri harus memberikan mahar kepada calon pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat.

Tanggapan:
Mahar merupakan hak perempuan dalam suatu perkawinan. Mahar ini dibebankan kepada laki-laki yang harus ditunaikan dan diberikan kepada perempuan,[1] meskipun para ulama masih memperdebatkan keberadaan mahar ini, apakah menjadi bagian dari rukun atau syarat nikah.
Terdapat beberapa pertimbangan mengapa persoalan mahar ini lebih diwajibkan kepada laki-laki untuk kemudian diberikan kepada perempuan, di antaranya yaitu:
Pertama, persoalan mahar sangat terkait dengan pembagian harta warisan sebagai sumber pendapatan harta bagi perempuan. Bagian laki-laki lebih banyak (2 bagian) dibanding bagian perempuan yang hanya mendapat sebagian (1 bagian) dari yang dimiliki laki-laki. Hal ini sebenarnya tidak bernuansa diskriminatif sebab perempuan pada akhirnya akan mendapatkan 3 bagian sumber harta di luar warisan, setelah ia menikah sebagai yang dimilikinya secara mutlak, yakni 1 bagian dari harta yang dibawanya sendiri ketika sebelum menikah; 1 bagian dari nafkah yang diberikan oleh suami; dan 1 bagian lagi adalah mahar itu sendiri. Dengan begitu maka kekhawatiran akan munculnya ketidakadilan dalam pembagian sumber-sumber harta kepada perempuan tidak akan terjadi. Jika mahar tidak diberikan kepada perempuan, maka 1 bagian dari sumber hartanya akan hilang, sehingga porsi perempuan dan porsi laki-laki tidak akan bertemu pada titik keseimbangan (equilibrium) dan keadilan. Dengan begitu, maka untuk mencapai titik keseimbangan dan keadilan tersebut, maka mahar harus diberikan oleh laki-laki kepada perempuan, bukan sebaliknya. Apabila konsepsi di atas direalisasikan, maka kemaslahatan manusia utamanya dari segi kesejahteraan akan terwujud.
Kedua, substansi mahar itu ialah penghormatan yang diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Untuk tidak mengatakan bahwa hakikat fisiologis pernikahan secara ekstrim adalah “penyerahan diri” seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang “siap dipakai” kapan saja setelah menempuh jalur pernikahan. Alangkah tidak logisnya jika “penyerahan diri” itu tidak disertai dengan tindakan penghormatan yang dilakukan oleh laki-laki. Lebih tidak logis lagi jika “penyerahan diri” itu dilakukan pada saat yang bersamaan dengan penyerahan mahar oleh perempuan. Oleh sebab itu, laki-laki dan perempuan yang akan menikah harus menghargai eksistensi diri masing-masing dengan cara memberikan mahar kepada perempuan yang menjadi haknya, jangan sebaliknya. Pemahaman ini memiliki dimensi kemaslahatan yang lebih jauh khususnya dari aspek kebahagiaan manusia yang diawali dengan rasa saling menghormati dan saling menghargai.
Ketiga, mahar yang diberikan laki-laki kepada perempuan merupakan tindakan preventif (sad dzariyah) guna mengeliminir dampak negatif yang muncul. Jika laki-laki menunaikan mahar, maka pada satu sisi laki-laki tidak terbuka peluang baginya untuk berbuat semena-mena kepada perempuan dan pada sisi lain perempuan tidak akan mudah dipermainkan oleh laki-laki karena laki-laki akan merasa berat untuk melepas perempuan akibat adanya keharusan mahar yang akan ditunaikannya. Tetapi sebaliknya, jika perempuan memberikan mahar kepada laki-laki, maka peluang laki-laki untuk berbuat diskriminatif kepada perempuan sangat terbuka karena ia merasa ”dibeli” oleh perempuan dan selanjutnya perempuan harus bersiap-siap untuk ditinggalkan.
Keempat, dalam konteks keindonesiaan, sudah menjadi kultur masyarakat dan disepakati oleh adat bahwa seorang laki-laki harus memberikan mahar kepada seorang perempuan yang akan dijadikan istrinya. Norma adat merupakan salah satu landasan hukum dalam menetapkan syariat.[2] Jika begitu adanya, maka seorang perempuan berhak mendapatkan mahar dari seorang laki-laki calon suaminya.
Kasus perempuan yang memberikan mahar kepada laki-laki notabene terjadi di Minangkabau seperti yang biasa disebut orang, perlu untuk diteliti kembali kebenarannya. Adat Minangkabau sangat kental dengan nuansa keislaman yang dapat dilihat melalui falsafahnya, yaitu “Adat basandi syara’; syara’ basandi Kitabullah.”  Jadi menurut hemat penulis, bagaimana bisa perempuan memberikan mahar kepada laki-laki, sementara mereka tahu kalau QS. Al-Nisa: 4 mengisyaratkan bahwa perempuan berhak mendapatkan mahar dari laki-laki yang bakal menjadi suaminya.


[1] Lihat QS. al-Nisa: 4; 24-25; al-Maidah: 5. Dalam hadis riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad Ibn Hanbal dinyatakan: “… beri maharnya (perempuan itu) sekalipun sebentuk cincin dari besi.” Demikian juga dengan hadis yang diriwayatkan Ahmad Ibn Hanbal, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah yang menyatakan bahwa Nabi mengesahkan pernikahan seorang pria dengan seorang wanita yang maharnya sepasang sandal.
[2] “Al-‘adat al-muhakkamah” (Adat itu --bisa menjadi landasan hukum yang­--  mengikat).



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar